Nama aslinya Djuwariyah, namun orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Yu Djum. Ia berprofesi sebagai andal kuliner, khususnya dalam satu lini masakan: gudeg.
Itulah kenapa orang-orang mengenalnya sebagai pemilik masakan legendaris Jogja adalah Gudeg Yu Djum.
Legenda mengenai dirinya telah menyebar. Bagaimana tidak, Yu Djum sudah berjualan sejak tahun 1950-an. Dari jaman simbah-simbah generasi milenial hari ini mbribik gebetannya dengan surat berparfum melati.
Siapa duga tanggal 14 November 2016 sewaktu maghrib, Yu Djum dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menghadap. Gak ada lagi penjaga gawang rasa gudeg yang khas.
Mungkin ini artinya selera gudeg pun harus beralih ke rasa yang lebih hari ini. Padahal orang-orang terlanjur mengenal gudeg ya rasa Yu Djum, bagus dengan sedikit hiasan gurih dan pedas dari sambal krecek.
Kalau ada gudeg selain itu, ya niscaya masakannya telah mengalami modifikasi.
Yu Djum meninggal di usia 87 tahun. Usia yang sepuh dan jauh lebih panjang dari umur keinginan hidup insan sehabis era keduapuluh. Apa rahasianya? Mungkin kesabaran dalam memasak gudeg bertahun-tahun sanggup menjadi koentji usia panjang.
Memasak gudeg bahwasanya bukan masalah gampang. Itu sebabnya gudeg Yu Djum cocoknya dinikmati di saat-saat spesial. Misalnya santai sore atau kumpul keluarga besar.
Rasa khas gudegnya akan menjadi perekat dan materi dialog dari kedua selera: penggila bagus dan pembencinya.
Orang mengkritik orang Jogjasebagai insan yang gak suka tantangan dan gemar bertindak pelan-pelan. Kota Jogja pun dinilai bukan kota yang menantang untuk ditinggali.
Hiruk-pikuk keduniawian berasa menguap ketika memasuki provinsi ini. Kita ibarat masuk ke kerajaan yang menjunjung makna surgawi.
Uraian itu jelashanya narasi atmosfir, bukan realita dengan fakta kongkrit. Namun, membaca cerita proses pembuatan gudeg akan membuatmu mengamininya, minimal di sudut hati.
Mulai dari mempersiapkan pembakaran tanpa gas, memakai kayu bakar. Bahan kuliner lalu diaduk perlahan selama hampir jam kerja.
Ketika adukan dirasa cukup dan lengan mulai lelah kesemutan, gudeg telah siap.
Proses memasak yang usang juga menciptakan gudeg menjadi kuliner yang abadi dan tidak simpel bau.
Hasil yang mantap dari kesabaran untuk mengolah.
Mungkin dari sinilah kita mengenal kalimat mutiara “alon-alon seng penting kelakon”alias “pelan-pelan gak apa-apa, yang penting terlaksana”.