- Memecah Pembisuan 'Timor dan Tragedi G30S/PKI', “Saya ingin menjadi Polisi pertama-tama sebab seragam yang gagah itu. Tapi bukan hanya seragam itu saja. Seragam itu akan memungkinkan saya untuk melindungi mereka yang lemah dan menegakkan kebenaran. Tapi pengalaman dua tahun (1965-1966) yang penuh darah,mereka yang mati tanpa diadili itu membuatku bertanya, benarkah polisi penegak kebenaran?” kata Beny kepada anak sulungnya Maria dikala menceritakan tragedi G30S. Baca juga : FIVE REASONS TO LOVE TIMOR, Bae Sonde Bae Tanah Timor Lebe Bae
Beny yaitu salah seorang yang ditugaskan sebagai eksekutor pada masa itu. Putra seorang kepala kampung di pedalaman Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur ini lahir sekitar tahun 1942.
Beny masih ingat tempat-tempat pembunuhan itu. Hutan Cendana di erat kota Soe, Nunumeu,kini menjadi Tempat Pemakaman Umum.Tempat lain yaitu Sungai Nonohonis di jalan menuju Kapan, Niki-niki, serta sebuah daerah yang terletak di pinggiran jalan menuju desa Bele,tak jauh dari Desa Oinlasi, Kecamatan Amanatun Selatan. Dia juga mendengar para korban yang ditangkap dan ditahan di Kupang dibunuh di erat Camplong, sebuah desa yang jauhnya sekitar 40 kilometer dari Kupang.
Baca juga : WWF Indonesia – Mutis-Timau di Timor Barat
Masa-masa itu sangat mengerikan. Semua orang dicekam rasa takut. Tentara berkeliling dengan senjata lengkap. Mobil mereka berkeliling di sudut-sudut kota kecil itu. Hampir setiap malam ada suara tembakan. Pembunuhan tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat di Lubang Buaya,Jakarta yang dituduhkan kepada PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi alasan penahanan dan pembunuhan orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI.
Menurut Beny, waktu itu beliau hanya tahu bahwa pembunuhan terjadi menurut perintah Soeharto untuk menumpas PKI. Masyarakat diyakinkan bahwa PKI yaitu partai yang berbahaya. Tokoh-tokoh partai itu dianggap menghasut perlawanan terhadap pemerintah dan bangsawan lokal. Mereka mengkritik contoh penguasaan tanah yang menguntungkan pah tuan (tuan tanah) dan mengkampanyekan pembaharuan contoh pemilikan tanah (land reform). PKI bahkan dituding akan melaksanakan pemberontakan. Mereka dikabarkan telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati. Baca juga : Daftar Lengkap Tokoh Pahlawan Nasional dan Tokoh Daerah dari Nusa Tenggara Timur (Update)
“Saya ragu dengan kebenaran itu. Bagaimana PKI sanggup menyerang padahal mereka tidak punya senjata sama sekali?”kata Beny. Meski demikian, tewasnya beberapa perwira tinggi Angkatan Darat menciptakan Beny yakin, PKI sangat berbahaya.
“Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya kepada kami. Saat itu tidak ada orang yang berani mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban dianggap bersimpati pada PKI dan sanggup ikut dibunuh,”lanjut Beny.
Kisah tersebut dimuat dalam Memecah Pembisuan. Buku ini merupakan kumpulan kisah yang dituturkan oleh para penyintas(survivor)yang terjadi tahun 1965 – 1966yang menggambarkan potongan-potongan kisah dari sisi berbeda dalam perjalanan sejarah bangsa. Masing-masing narasumber dari buku ini menyadari bahwa tuturan kisah yang disampaikan secara terbuka akan membawa mereka kepada keterpurukan yang mungkin semakin dalam, sebab penguasa negeri ini telah menyusun kisah sejarah yang berbeda dengan apa yang bahu-membahu terjadi. Baca juga : Kumpulan Lirik Lagu Daerah Nusa Tenggara Timur
Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi 1965-1966, berisi 15 dongeng kegetiran dan usaha hidup mereka untuk sanggup menjadi insan kembaliMereka memecah pembisuan yang dideritanya puluhan tahun dengan keinginan di masa depan masyarakat sanggup membangun pemahaman sejarah bangsa yang tidak mengandung diskriminasi dan stigmatisasi atas pihak tertentu.
Baca juga : 10 Kuliner Khas NTT Yang Bikin Beta Rindu Mau Pulang Kampung
Buku ini diluncurkan Jumat, 7 Oktober 2011 di Goethe House, Jakarta. Selain monolog dari Happy Salma, program ini diisi dengan diskusi yang dipaparkan Ratna Hapsari (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), Yoseph Adi Prasetyo (Wakil Ketua Komnas HAM), dan M Imam Azis (Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama). Sumber https://www.bloggerntt.com/
Beny yaitu salah seorang yang ditugaskan sebagai eksekutor pada masa itu. Putra seorang kepala kampung di pedalaman Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur ini lahir sekitar tahun 1942.
Beny masih ingat tempat-tempat pembunuhan itu. Hutan Cendana di erat kota Soe, Nunumeu,kini menjadi Tempat Pemakaman Umum.Tempat lain yaitu Sungai Nonohonis di jalan menuju Kapan, Niki-niki, serta sebuah daerah yang terletak di pinggiran jalan menuju desa Bele,tak jauh dari Desa Oinlasi, Kecamatan Amanatun Selatan. Dia juga mendengar para korban yang ditangkap dan ditahan di Kupang dibunuh di erat Camplong, sebuah desa yang jauhnya sekitar 40 kilometer dari Kupang.
Baca juga : WWF Indonesia – Mutis-Timau di Timor Barat
Masa-masa itu sangat mengerikan. Semua orang dicekam rasa takut. Tentara berkeliling dengan senjata lengkap. Mobil mereka berkeliling di sudut-sudut kota kecil itu. Hampir setiap malam ada suara tembakan. Pembunuhan tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat di Lubang Buaya,Jakarta yang dituduhkan kepada PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi alasan penahanan dan pembunuhan orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI.
Menurut Beny, waktu itu beliau hanya tahu bahwa pembunuhan terjadi menurut perintah Soeharto untuk menumpas PKI. Masyarakat diyakinkan bahwa PKI yaitu partai yang berbahaya. Tokoh-tokoh partai itu dianggap menghasut perlawanan terhadap pemerintah dan bangsawan lokal. Mereka mengkritik contoh penguasaan tanah yang menguntungkan pah tuan (tuan tanah) dan mengkampanyekan pembaharuan contoh pemilikan tanah (land reform). PKI bahkan dituding akan melaksanakan pemberontakan. Mereka dikabarkan telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati. Baca juga : Daftar Lengkap Tokoh Pahlawan Nasional dan Tokoh Daerah dari Nusa Tenggara Timur (Update)
“Saya ragu dengan kebenaran itu. Bagaimana PKI sanggup menyerang padahal mereka tidak punya senjata sama sekali?”kata Beny. Meski demikian, tewasnya beberapa perwira tinggi Angkatan Darat menciptakan Beny yakin, PKI sangat berbahaya.
“Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya kepada kami. Saat itu tidak ada orang yang berani mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban dianggap bersimpati pada PKI dan sanggup ikut dibunuh,”lanjut Beny.
Kisah tersebut dimuat dalam Memecah Pembisuan. Buku ini merupakan kumpulan kisah yang dituturkan oleh para penyintas(survivor)yang terjadi tahun 1965 – 1966yang menggambarkan potongan-potongan kisah dari sisi berbeda dalam perjalanan sejarah bangsa. Masing-masing narasumber dari buku ini menyadari bahwa tuturan kisah yang disampaikan secara terbuka akan membawa mereka kepada keterpurukan yang mungkin semakin dalam, sebab penguasa negeri ini telah menyusun kisah sejarah yang berbeda dengan apa yang bahu-membahu terjadi. Baca juga : Kumpulan Lirik Lagu Daerah Nusa Tenggara Timur
Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi 1965-1966, berisi 15 dongeng kegetiran dan usaha hidup mereka untuk sanggup menjadi insan kembaliMereka memecah pembisuan yang dideritanya puluhan tahun dengan keinginan di masa depan masyarakat sanggup membangun pemahaman sejarah bangsa yang tidak mengandung diskriminasi dan stigmatisasi atas pihak tertentu.
Baca juga : 10 Kuliner Khas NTT Yang Bikin Beta Rindu Mau Pulang Kampung
Buku ini diluncurkan Jumat, 7 Oktober 2011 di Goethe House, Jakarta. Selain monolog dari Happy Salma, program ini diisi dengan diskusi yang dipaparkan Ratna Hapsari (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), Yoseph Adi Prasetyo (Wakil Ketua Komnas HAM), dan M Imam Azis (Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama). Sumber https://www.bloggerntt.com/