- NAI MNASI MOA HITU Cerita Rakyat dari Atoni Pah Meto Timor, Moa Hitu ialah salah satu legenda kuno masyarakat Dawan. Cerita ini dituturkan turun temurun hingga sekarang. Konon, Moa Hitu ialah insan raksasa yang pernah hidup di kawasan TTS, dan bahkan jejak kakinya masih sanggup ditelusuri di tempat-tempat tertentu.
Dahulu kala, pada zaman purba, di pulau Timor hiduplah seorang yang insan yang bernama Natui Noe, dan istrinya berjulukan Bi Mana dengan akun1) Obe.
Pada zaman itu, Natui Noe menjadi cuilan saudara dari dua belas kakak-beradik yang kemudian berkembang menjadi dua belas suku di Timor Barat. Kedua belas kakak-beradik tersebut kemana-mana pada zaman itu selalu bersama-sama. Pada suatu saat, mereka bersepakat untuk mencari takaf2) masing-masing yang akan diberikan oleh Uis Neno3).
Baca juga : Tradisi “Saok Nate” orang Dawan: Perkawinan Budaya Halaika dan Iman Kristiani
Perjalanan mencari takaf mulai dilakukan dan konon pada zaman tersebut, jarak langit dan bumi tidaklah sejauh kini ini sehingga panas matahari sangat menyengat pada siang hari sedangkan malam hari hambar tak tertahankan. Perjalanan kakak-beradik ini terus dilakukan dengan penuh sungutan lantaran panasnya matahari, kecuali Natui Noe yang tetap tekun berjalan tanpa mengeluh.
Suatu ketika tibalah mereka pada suatu tempat yang berjulukan Fatu Na Neno4), panas matahari tidak lagi tertahankan, mereka berhenti dan makan pisang, tetapi sungutan dan omelan dari kakak-beradiknya terus saja berlangsung hingga memicu pertengkaran antara kakak-beradik, mereka kesal lantaran tidak sanggup bertemu dengan Uis Neno untuk mendapatkan takaf mereka masing-masing.
Baca juga : Memecah Pembisuan 'Timor dan Tragedi G30S/PKI'
Natui Noe, dengan tidak peduli pada omelan dan pertengkaran kakak-beradiknya, terus saja memakan pisang sambil memandang ke telaga air yang ada ditempat peristirahatan mereka di Fatu Na Neno, kemudian ia melihat bayangan Uis Neno dalam air, kemudian ia menegadah ke langit dan melihat ada matahari dan bulan, kemudian mengertilah Natui Noe bahwa Uis Neno ada di langit dan di bumi, kemudian ia pun menyampaikan pada kakak-beradiknya bahwa ia tidak mau ikut mencari lagi takaf Uis Neno lagi lantaran selama ini mereka capai dan berlelah mencari Uis Neno padahal Uis Neno di langit dan bumi.
Kakak-beradiknya bertambah murka dan berkata : " Natui Noe, Kau ini bagaimana ? kita mencari takaf Uis Neno lantaran ada Nobin (bekas kaki) lewat sini, tapi kau menyampaikan bahwa Uis Neno ada di langit dan bumi, kami tidak mengerti. Kakak beradik ini memaksa Natui Noe semoga mereka melanjutkan perjalanan mencari takaf Uis Neno tetapi Natui Noe tidak mau dan tetap pada pendirianya untuk menghentikan perjalanan lantaran baginya ia telah menemukan takaf Uis Neno.
Baca juga : FIVE REASONS TO LOVE TIMOR, Bae Sonde Bae Tanah Timor Lebe Bae
Akhirnya kakak-beradiknya menyampaikan kalau engkau telah menemukan takaf Uis Neno coba buat semoga neno (siang /matahari ) jangan terlalu panas ibarat ini, buatlah langit meninggi dan bumi merendah supaya kalau siang kita jangan terlalu kepanasan dan kalau malam kita jangan kedinginan.
Maka tiba-tiba Natui Noe mendapatkan kesaktian yang luar biasa dimana tubuhnya berubah bentuk menjadi tinggi sekali dengan tujuh ruas dan tujuh buku. Kesaktian yang diperolehnya ini sanggup menciptakan Natui Noe menjauhkan jarak langit dari bumi. Bersamaan dengan itu turunlah hujan dan angin dari langit selama tujuh siang, tujuh malam, bahkan bumi bergetar ibarat nainun (gempa bumi).
Kakak – beradik tersebut kemudian menyadari bahwa Natui Noe telah menemukan takaf-nya, yaitu tubuhnya yang berubah bentuk menjadi “tujuh ruas” atau yang dalam bahasa atoni pah meto5) disebut Moa Hitu. Sejak ketika itulah , Natui Noe disapa dengan nama Moa Hitu6) yang artinya tujuh ruas.
Baca juga : WWF Indonesia – Mutis-Timau di Timor Barat
Kesebelas kakak-beradik itu kemudian berkata kepada Moa Hitu : “Engkau sudah boleh kembali lantaran engkau telah menemukan takaf-mu Moa Hitu, kami belum sanggup kembali bersamamu lantaran kami masih harus mencari takaf kami”.
Akhirnya kesebelas kakak-beradik ini melanjutkan perjalanan mencari takaf mereka masing-masing, sedangkan Moa Hitu lebih dahulu kembali ke kampung dan dengan tak sabar ingin menemui istrinya serta anak-anaknya untuk memberikan kabar gembiara itu.
Namun sayang seribu sayang dalam perjalanan pulang tersebut Moa Hitu merasa sangat gelisah ketika menyadari bahwa dirinya bukan lagi Natui Noe yang dulu. Ia mulai menyadari bahwa dibalik kesaktian yang ada justru ada dilema besar yang menimpanya.
Masalah tersebut ialah bagaimana cara untuk masuk kedalam rumahnya bila Ia sudah tiba di kampung halamanya nanti ? Bagaimanan Ia harus makan bila lapar ? lantaran Ia mulai mencicipi kelainan yakni tidak merasa kenyang lagi hanya dengan memakan masakan yang biasa dimakanya. Bagaimana caranya untuk tidur bila Ia mengantuk ? lantaran tubuhnya sangat besar dan panjang. Bagaimana untuk membungkus badanya bila hujan ?
Masalah-masalah dibalik kesaktian yang dirasakan Moa Hitu sebagai makluk raksasa itu telah menciptakan dirinya gelisah. Untuk itu Moa Hitu menentukan untuk tidak pulang tetapi ia berjalan dan mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sementara kakak-beradiknya yang tolong-menolong mencari takaf sebagian besar sudah kembali ke kampong halamanya kecuali Mutim Olanit (saudara kulit putih kemerahan) dan Metnam Falikis (saudara kulit gelap legam dan keriting) yang terus melanjutkan perjalanan mereka mencari takaf.
Perjalanan pengembaraan Moa Hitu selalu melewati banyak tempat hanya dengan sekali melangkah dan bila ia menginjakan kakinya baik diatas tanah atau watu selalu meninggalkan bekas telapak kakinya.
Baca juga : BBK Ende dalam Rekaman Sejarah
Bekas kaki dari Moa Hitu masih sanggup dilihat di sebuah watu di kampung Mnela Puilin desa Manufui, Kecamatan Amanatun Selatan dan juga di desa Sanbet , Kecamatan Amanatun Utara serta masih ada lagi pada beberapa tempat di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Karena kesaktian yang dimilikinya maka kalau Moa Hitu lapar akan terjadi musibah dimana-mana, ada kekeringan, banyak ibu-ibu hamil keguguran bahkan kalau ia murka maka bergetarlah bumi lantaran terjadi gempa sedangkan kalau ia kenyang maka akan ada kelimpahan di mana-mana, hasil buruan akan berlimpah lantaran hewan hutanpun sanggup dating dengan sendirinya.
Kondisi tubuh Moa Hitu yang panjang dan besar membutuhkan tempat yang luas untuk sanggup tidur, Moa Hitu harus menentukan tidur dengan cara badanya direntangkan diatas tanah sedangkan leher dan kepalanya disandarkan pada pohon Tua7) dan pohon Tua tempat Moa Hitu menyandarkan leher kepalanya akan terlihat dari kejauhan tampaknya bercabang dan lantaran itu tempat tersebut kemudian dinamakan Tau masbake8) sampai ketika ini yang artinya pohon Gewang dengan tempat bertumpu atau Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bersandar.
Untuk menutupi tubuhnya, Moa Hitu menganyam daun gewang menjadi selimut baginya.
Tahun berganti tahun, bulan pun berlalu, Moa Hitu tak kunjung pulang, Ia melaksanakan pengembaraan ke tempat-tempat jauh menghindari kakak beradik, anak dan istrinya. Dilain sisi, kakak-beradik serta anak sudah beranak cucu dan sudah banyak jumlahnya, sehingga masing masing telah mencari tempat tinggal yang baru.
Suatu ketika dalam pengembaraannya Moa Hitu teringat akan anak istrinya. Rasa rindu tak tertahankan lagi maka dikuatkanlah hatinya untuk kembali. Sementara di rumahnya, Bi Mana pun sudah mengetahui ihwal perubahan bentuk tubuh dan keadaan suaminya dari ceritera para kakak-beradik.
Walaupun sempat terkejut tapi Bi Mana tidak mempersoalkan perubahan tubuh suaminya. Bagi Bi Mana, Moa Hitu tetaplah suaminya sebagaimana Natui Noe yang dulu Ia kenal. Bi Mana bahkan sedang menenun untuk berbagi selimut yang besar guna sanggup digunakan oleh Moa Hitu yang besar itu.
Beberapa ketika kemudian maka tibalah Moa Hitu di kampung halamanya, ketika hendak mendekati rumahnya, Moa Hitu melihat istrinya sedang menenun dengan membelakanginya. Tiba-tiba, anyaman daun gewang yang digunakan membugkus tubuh Moa Hitu terlepas dan auratnya yang ibarat ular mengagetkan istrinya yang sedang menenun, sehingga dengan tanpa sadar Bi Mana sang Istri mecabut Senu 9) kemudian memukul aurat Moa Hitu dengan sangat keras dan menimbulkan Moa Hitu meninggal dunia.
Itulah penyebabnya mengapa hingga hari ini masyarakat di Timor Barat pemali10) untuk memukul dengan Senu atau bahkan untuk mengayunkan senu pada seseorangpun ialah sesuatu yang sangat dikeramatkan ( le'u ) lantaran berdasarkan kepercayaan masyarakat Atoni Pah Meto hal itu sanggup menciptakan umur seseorang menjadi pendek.
Kematian Moa Hitu menjadikan sedih yang dalam diantara saudara-saudaranya yang kemudian berdatangan untuk melayat sampai-sampai terjadilah perebutan jenasah diantara kakak-beradik. Masing – masing merasa yang paling berhak atas jenasah dimaksud. Walaupun demikian pada alhasil terjadilah janji untuk membagi jasad Moa Hitu dengan pembagian sebagai berikut :
1. Suku Sole Neno11) mendapakan bahagian Kepala, kemudian menguburkanya pada suatu tempat dimana kepala Moa Hitu dikuburkan dengan posisi menuju arah Nenosaet12) (Timur). Tempat tersebut masih ada hingga kini dan dijaga dengan sangat belakang layar oleh suku Sole, hingga dengan ceritera ini ditulis. Bebepa puluh generasi kemudian disamping kuburan Kepala Moa Hitu dikuburkan juga dua orang yang dipercayai oleh keluarga Sole sebagai turunan dari Moa Hitu dan mewarisi namanya yakni Moa Sole dan Moa Nomnafa13) dengan posisi mengapit kuburan Kepala Moa Hitu. Tempat kuburan itu kemudian dinamakan Nai Mnasi Nakan14)
2. Suku Liu Rai15) mendapatkan bahagian Badan dan Tangan, kemudian menguburkanya diantara Biudukfoho16) dan Tupa
3. Suku Rais Uf17) mendapatkan bahagian kedua Kaki Moa Hitu dan menguburkanya pada salah satu tempat di wilayah Kupang
Keterangan :
1). Akun : Sapaan bagi setiap orang Timor Barat berdasarkan asal seruan suku atau marganya
2). Takaf : Tanda
3). Uis Neno : Raja Langit / Raja Matahari, pada zaman dulu, ada seorang penguasa (raja) di Timor yang dianggap keramat dan mempunyai kekuasaan serta Kesaktia atas jagad raya. Sehingga kata UIS NENO ditujukan bagi raja tersebut dan NENO ANAN bagi anak-anak raja langit / anak matahari. Beberapa waktu kemudian, kata UIS NENO di terjemahkan sebagai penyebutan terhadap TUHAN
4). Fatu Na Neno : Batu Pemegang Langit atau watu kepunyaan langit atau Batu milik Neno, (sebuah nama tempat di Timor Barat)
5). Atoni Pah Meto : Orang Negeri Kering (sebutan bagi populasi masyarakat Timor Barat)
6). Moa Hitu : Tujuh Ruas (Sebutan bagi Natui Noe dimana tubuhnya menjelma besar dan tinggi sekali dalam mempunyai tujuh ruas)
7). Pohon Tua : Pohon Gewang
8). Tua Masbake : Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bertumpu / bersandar (sebuah nama tempat di Timor Barat, di wilayah Amanuban, yang diakui sebagai tempat sandaran kepala Moa Hitu kalau ingin tidur
9). Senu : sebutan bagi alat tenun tradisional yang berbentuk ibarat pedang
10). Pemali : Pantangan
11) Sole Neno : Salah satu suku renta yang berdasarkan tuturan (natoni) diakui sebagai darah biru pada zaman lampau yang berhak membagi wilayah kekuasaan bagi raja-raja lain bahkan berasal dari turunan dewata ( dari langit ) sehingga sanggup memisahkan langit dan bumi (soel neno ma nsoel pah) dan kemudian sebelum kedatangan portugis, mereka mempunyai kekuasaan atas wilayah kerajaan Pene mfaifnome (sekarang Amanuban Selatan), dan sesudah Portugis datang, merekalah orang pertama yang mendapatkan kehadiran Agama Nasrani di Timor yakni di Elo Abi
12) Nenosaet : Matahari Terbit ( arah mata angin : Timur)
13). Moa Nomnafa : Nomnafa pada zaman dahulu ialah Sole, (kakak-beradik) tapi lantaran sebuah kontradiksi antar keduanya yang tidak sanggup tidak boleh maka pada zaman sudah ada darah biru Amanuban, membagi mereka semoga masing-masing menempuh jalannya dan nasiblah yang akan menentukan keberlanjutan keturunan masing-masing.
14). Nai Mnasi Nakan : Kepala dari Kakek Tua (Moyang). sebutan bagi kuburan dari KEPALA MOA HITU
15). Liu Rai : Suku yang kemudian menitiskan Bangsawan di Belu dan diberi gelar Liu Rai
16). Biudukfoho : Salah satu nama tempat di wilayah Kabupaten Belu
17). Rais Uf (Rasi Uf) : Leluhur dari populasi di Amarasi
Oleh : Nikodemus Solle
Image Source : Wikimedia Sumber https://www.bloggerntt.com/
“ NAI MNASI MOA HITU “ - KAKEK TUJUH RUAS
Dahulu kala, pada zaman purba, di pulau Timor hiduplah seorang yang insan yang bernama Natui Noe, dan istrinya berjulukan Bi Mana dengan akun1) Obe.
Pada zaman itu, Natui Noe menjadi cuilan saudara dari dua belas kakak-beradik yang kemudian berkembang menjadi dua belas suku di Timor Barat. Kedua belas kakak-beradik tersebut kemana-mana pada zaman itu selalu bersama-sama. Pada suatu saat, mereka bersepakat untuk mencari takaf2) masing-masing yang akan diberikan oleh Uis Neno3).
Baca juga : Tradisi “Saok Nate” orang Dawan: Perkawinan Budaya Halaika dan Iman Kristiani
Perjalanan mencari takaf mulai dilakukan dan konon pada zaman tersebut, jarak langit dan bumi tidaklah sejauh kini ini sehingga panas matahari sangat menyengat pada siang hari sedangkan malam hari hambar tak tertahankan. Perjalanan kakak-beradik ini terus dilakukan dengan penuh sungutan lantaran panasnya matahari, kecuali Natui Noe yang tetap tekun berjalan tanpa mengeluh.
Suatu ketika tibalah mereka pada suatu tempat yang berjulukan Fatu Na Neno4), panas matahari tidak lagi tertahankan, mereka berhenti dan makan pisang, tetapi sungutan dan omelan dari kakak-beradiknya terus saja berlangsung hingga memicu pertengkaran antara kakak-beradik, mereka kesal lantaran tidak sanggup bertemu dengan Uis Neno untuk mendapatkan takaf mereka masing-masing.
Baca juga : Memecah Pembisuan 'Timor dan Tragedi G30S/PKI'
Natui Noe, dengan tidak peduli pada omelan dan pertengkaran kakak-beradiknya, terus saja memakan pisang sambil memandang ke telaga air yang ada ditempat peristirahatan mereka di Fatu Na Neno, kemudian ia melihat bayangan Uis Neno dalam air, kemudian ia menegadah ke langit dan melihat ada matahari dan bulan, kemudian mengertilah Natui Noe bahwa Uis Neno ada di langit dan di bumi, kemudian ia pun menyampaikan pada kakak-beradiknya bahwa ia tidak mau ikut mencari lagi takaf Uis Neno lagi lantaran selama ini mereka capai dan berlelah mencari Uis Neno padahal Uis Neno di langit dan bumi.
Kakak-beradiknya bertambah murka dan berkata : " Natui Noe, Kau ini bagaimana ? kita mencari takaf Uis Neno lantaran ada Nobin (bekas kaki) lewat sini, tapi kau menyampaikan bahwa Uis Neno ada di langit dan bumi, kami tidak mengerti. Kakak beradik ini memaksa Natui Noe semoga mereka melanjutkan perjalanan mencari takaf Uis Neno tetapi Natui Noe tidak mau dan tetap pada pendirianya untuk menghentikan perjalanan lantaran baginya ia telah menemukan takaf Uis Neno.
Baca juga : FIVE REASONS TO LOVE TIMOR, Bae Sonde Bae Tanah Timor Lebe Bae
Akhirnya kakak-beradiknya menyampaikan kalau engkau telah menemukan takaf Uis Neno coba buat semoga neno (siang /matahari ) jangan terlalu panas ibarat ini, buatlah langit meninggi dan bumi merendah supaya kalau siang kita jangan terlalu kepanasan dan kalau malam kita jangan kedinginan.
Maka tiba-tiba Natui Noe mendapatkan kesaktian yang luar biasa dimana tubuhnya berubah bentuk menjadi tinggi sekali dengan tujuh ruas dan tujuh buku. Kesaktian yang diperolehnya ini sanggup menciptakan Natui Noe menjauhkan jarak langit dari bumi. Bersamaan dengan itu turunlah hujan dan angin dari langit selama tujuh siang, tujuh malam, bahkan bumi bergetar ibarat nainun (gempa bumi).
Kakak – beradik tersebut kemudian menyadari bahwa Natui Noe telah menemukan takaf-nya, yaitu tubuhnya yang berubah bentuk menjadi “tujuh ruas” atau yang dalam bahasa atoni pah meto5) disebut Moa Hitu. Sejak ketika itulah , Natui Noe disapa dengan nama Moa Hitu6) yang artinya tujuh ruas.
Baca juga : WWF Indonesia – Mutis-Timau di Timor Barat
Kesebelas kakak-beradik itu kemudian berkata kepada Moa Hitu : “Engkau sudah boleh kembali lantaran engkau telah menemukan takaf-mu Moa Hitu, kami belum sanggup kembali bersamamu lantaran kami masih harus mencari takaf kami”.
Akhirnya kesebelas kakak-beradik ini melanjutkan perjalanan mencari takaf mereka masing-masing, sedangkan Moa Hitu lebih dahulu kembali ke kampung dan dengan tak sabar ingin menemui istrinya serta anak-anaknya untuk memberikan kabar gembiara itu.
Namun sayang seribu sayang dalam perjalanan pulang tersebut Moa Hitu merasa sangat gelisah ketika menyadari bahwa dirinya bukan lagi Natui Noe yang dulu. Ia mulai menyadari bahwa dibalik kesaktian yang ada justru ada dilema besar yang menimpanya.
Masalah tersebut ialah bagaimana cara untuk masuk kedalam rumahnya bila Ia sudah tiba di kampung halamanya nanti ? Bagaimanan Ia harus makan bila lapar ? lantaran Ia mulai mencicipi kelainan yakni tidak merasa kenyang lagi hanya dengan memakan masakan yang biasa dimakanya. Bagaimana caranya untuk tidur bila Ia mengantuk ? lantaran tubuhnya sangat besar dan panjang. Bagaimana untuk membungkus badanya bila hujan ?
Masalah-masalah dibalik kesaktian yang dirasakan Moa Hitu sebagai makluk raksasa itu telah menciptakan dirinya gelisah. Untuk itu Moa Hitu menentukan untuk tidak pulang tetapi ia berjalan dan mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sementara kakak-beradiknya yang tolong-menolong mencari takaf sebagian besar sudah kembali ke kampong halamanya kecuali Mutim Olanit (saudara kulit putih kemerahan) dan Metnam Falikis (saudara kulit gelap legam dan keriting) yang terus melanjutkan perjalanan mereka mencari takaf.
Perjalanan pengembaraan Moa Hitu selalu melewati banyak tempat hanya dengan sekali melangkah dan bila ia menginjakan kakinya baik diatas tanah atau watu selalu meninggalkan bekas telapak kakinya.
Baca juga : BBK Ende dalam Rekaman Sejarah
Bekas kaki dari Moa Hitu masih sanggup dilihat di sebuah watu di kampung Mnela Puilin desa Manufui, Kecamatan Amanatun Selatan dan juga di desa Sanbet , Kecamatan Amanatun Utara serta masih ada lagi pada beberapa tempat di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Karena kesaktian yang dimilikinya maka kalau Moa Hitu lapar akan terjadi musibah dimana-mana, ada kekeringan, banyak ibu-ibu hamil keguguran bahkan kalau ia murka maka bergetarlah bumi lantaran terjadi gempa sedangkan kalau ia kenyang maka akan ada kelimpahan di mana-mana, hasil buruan akan berlimpah lantaran hewan hutanpun sanggup dating dengan sendirinya.
Kondisi tubuh Moa Hitu yang panjang dan besar membutuhkan tempat yang luas untuk sanggup tidur, Moa Hitu harus menentukan tidur dengan cara badanya direntangkan diatas tanah sedangkan leher dan kepalanya disandarkan pada pohon Tua7) dan pohon Tua tempat Moa Hitu menyandarkan leher kepalanya akan terlihat dari kejauhan tampaknya bercabang dan lantaran itu tempat tersebut kemudian dinamakan Tau masbake8) sampai ketika ini yang artinya pohon Gewang dengan tempat bertumpu atau Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bersandar.
Untuk menutupi tubuhnya, Moa Hitu menganyam daun gewang menjadi selimut baginya.
Tahun berganti tahun, bulan pun berlalu, Moa Hitu tak kunjung pulang, Ia melaksanakan pengembaraan ke tempat-tempat jauh menghindari kakak beradik, anak dan istrinya. Dilain sisi, kakak-beradik serta anak sudah beranak cucu dan sudah banyak jumlahnya, sehingga masing masing telah mencari tempat tinggal yang baru.
Suatu ketika dalam pengembaraannya Moa Hitu teringat akan anak istrinya. Rasa rindu tak tertahankan lagi maka dikuatkanlah hatinya untuk kembali. Sementara di rumahnya, Bi Mana pun sudah mengetahui ihwal perubahan bentuk tubuh dan keadaan suaminya dari ceritera para kakak-beradik.
Walaupun sempat terkejut tapi Bi Mana tidak mempersoalkan perubahan tubuh suaminya. Bagi Bi Mana, Moa Hitu tetaplah suaminya sebagaimana Natui Noe yang dulu Ia kenal. Bi Mana bahkan sedang menenun untuk berbagi selimut yang besar guna sanggup digunakan oleh Moa Hitu yang besar itu.
Beberapa ketika kemudian maka tibalah Moa Hitu di kampung halamanya, ketika hendak mendekati rumahnya, Moa Hitu melihat istrinya sedang menenun dengan membelakanginya. Tiba-tiba, anyaman daun gewang yang digunakan membugkus tubuh Moa Hitu terlepas dan auratnya yang ibarat ular mengagetkan istrinya yang sedang menenun, sehingga dengan tanpa sadar Bi Mana sang Istri mecabut Senu 9) kemudian memukul aurat Moa Hitu dengan sangat keras dan menimbulkan Moa Hitu meninggal dunia.
Itulah penyebabnya mengapa hingga hari ini masyarakat di Timor Barat pemali10) untuk memukul dengan Senu atau bahkan untuk mengayunkan senu pada seseorangpun ialah sesuatu yang sangat dikeramatkan ( le'u ) lantaran berdasarkan kepercayaan masyarakat Atoni Pah Meto hal itu sanggup menciptakan umur seseorang menjadi pendek.
Kematian Moa Hitu menjadikan sedih yang dalam diantara saudara-saudaranya yang kemudian berdatangan untuk melayat sampai-sampai terjadilah perebutan jenasah diantara kakak-beradik. Masing – masing merasa yang paling berhak atas jenasah dimaksud. Walaupun demikian pada alhasil terjadilah janji untuk membagi jasad Moa Hitu dengan pembagian sebagai berikut :
1. Suku Sole Neno11) mendapakan bahagian Kepala, kemudian menguburkanya pada suatu tempat dimana kepala Moa Hitu dikuburkan dengan posisi menuju arah Nenosaet12) (Timur). Tempat tersebut masih ada hingga kini dan dijaga dengan sangat belakang layar oleh suku Sole, hingga dengan ceritera ini ditulis. Bebepa puluh generasi kemudian disamping kuburan Kepala Moa Hitu dikuburkan juga dua orang yang dipercayai oleh keluarga Sole sebagai turunan dari Moa Hitu dan mewarisi namanya yakni Moa Sole dan Moa Nomnafa13) dengan posisi mengapit kuburan Kepala Moa Hitu. Tempat kuburan itu kemudian dinamakan Nai Mnasi Nakan14)
2. Suku Liu Rai15) mendapatkan bahagian Badan dan Tangan, kemudian menguburkanya diantara Biudukfoho16) dan Tupa
3. Suku Rais Uf17) mendapatkan bahagian kedua Kaki Moa Hitu dan menguburkanya pada salah satu tempat di wilayah Kupang
Keterangan :
1). Akun : Sapaan bagi setiap orang Timor Barat berdasarkan asal seruan suku atau marganya
2). Takaf : Tanda
3). Uis Neno : Raja Langit / Raja Matahari, pada zaman dulu, ada seorang penguasa (raja) di Timor yang dianggap keramat dan mempunyai kekuasaan serta Kesaktia atas jagad raya. Sehingga kata UIS NENO ditujukan bagi raja tersebut dan NENO ANAN bagi anak-anak raja langit / anak matahari. Beberapa waktu kemudian, kata UIS NENO di terjemahkan sebagai penyebutan terhadap TUHAN
4). Fatu Na Neno : Batu Pemegang Langit atau watu kepunyaan langit atau Batu milik Neno, (sebuah nama tempat di Timor Barat)
5). Atoni Pah Meto : Orang Negeri Kering (sebutan bagi populasi masyarakat Timor Barat)
6). Moa Hitu : Tujuh Ruas (Sebutan bagi Natui Noe dimana tubuhnya menjelma besar dan tinggi sekali dalam mempunyai tujuh ruas)
7). Pohon Tua : Pohon Gewang
8). Tua Masbake : Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bertumpu / bersandar (sebuah nama tempat di Timor Barat, di wilayah Amanuban, yang diakui sebagai tempat sandaran kepala Moa Hitu kalau ingin tidur
9). Senu : sebutan bagi alat tenun tradisional yang berbentuk ibarat pedang
10). Pemali : Pantangan
11) Sole Neno : Salah satu suku renta yang berdasarkan tuturan (natoni) diakui sebagai darah biru pada zaman lampau yang berhak membagi wilayah kekuasaan bagi raja-raja lain bahkan berasal dari turunan dewata ( dari langit ) sehingga sanggup memisahkan langit dan bumi (soel neno ma nsoel pah) dan kemudian sebelum kedatangan portugis, mereka mempunyai kekuasaan atas wilayah kerajaan Pene mfaifnome (sekarang Amanuban Selatan), dan sesudah Portugis datang, merekalah orang pertama yang mendapatkan kehadiran Agama Nasrani di Timor yakni di Elo Abi
12) Nenosaet : Matahari Terbit ( arah mata angin : Timur)
13). Moa Nomnafa : Nomnafa pada zaman dahulu ialah Sole, (kakak-beradik) tapi lantaran sebuah kontradiksi antar keduanya yang tidak sanggup tidak boleh maka pada zaman sudah ada darah biru Amanuban, membagi mereka semoga masing-masing menempuh jalannya dan nasiblah yang akan menentukan keberlanjutan keturunan masing-masing.
14). Nai Mnasi Nakan : Kepala dari Kakek Tua (Moyang). sebutan bagi kuburan dari KEPALA MOA HITU
15). Liu Rai : Suku yang kemudian menitiskan Bangsawan di Belu dan diberi gelar Liu Rai
16). Biudukfoho : Salah satu nama tempat di wilayah Kabupaten Belu
17). Rais Uf (Rasi Uf) : Leluhur dari populasi di Amarasi
Oleh : Nikodemus Solle
Image Source : Wikimedia Sumber https://www.bloggerntt.com/