Nilulat, Rinduku Meliuk Liuk Di Antara Lembah Bikomi (Bagian I)

Nilulat, Rinduku Meliuk Liuk Di Antara Lembah Bikomi (Bagian I)
Nilulat, Rinduku Meliuk Liuk Di Antara Lembah Bikomi (Bagian I)
- Nilulat, Rinduku Meliuk liuk di antara Lembah Bikomi, Sejauh mata memandang, Jika di pandang dari dataran Kefamenanu, berada sempurna di barisan gunung Meomaffo. Kampung Nilulat dengan topografi pegunungan dan perbukitan berbaris rapi menghapit kampung tersebut.

Tampak Desa Nilulat di lihat dari puncak gunung Folain

Lembah Bikomi  yang dihiasi hijaunya hutan tropis terlihat berpagarkan pegunungan dan tebing-tebing batu, di tengah lembahnya mengalir pula Sungai Noe Noni yang muaranya dari limpahan mata air Gunung Mutis, meliuk-liuk indah membelah lembah Bikomi hingga ke Noetoko. Indahnya bisa menghilangkan rasa kecewa di hati.

Nilulat secara de facto berada di Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara.

Nilulat, terdapat 'Sonaf Usi Lake’ raja sekaligus penguasa disini. Nilulat masuk dalam Kefetoran Nilulat, yang namanya juga tercatat dalam sejarah terbentuknya ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Nilulat tercatut dalam napak tilas dari Noetoko hingga ke Nunpene dalam ekspedisi pasukan Belanda mencari letak ibu kota Kab TTU tercinta.

Untuk Andayang mau tahu lebih lengkap mengenai Desa Nilulat, sudah saya muat di laman wikipedia. Silahkan baca disini, Desa Nilulat, Kecamatan Bikomi Nilulat, Timor Tengah Utara.

Nilulat, Berada di ketinggian, di apit pegunungan Meomaffo, dibawah naungan Faku dan Folain, dua gunung yang menjadi sumber kehidupan untuk beberapa mata air di kampung ini. Sebut saja, Oelhautes, Oelamnesat yang letaknya berada di dalam kampung, hingga Oelbubuk di Hautunis.

Berada di ketinggian, menciptakan Nilulat terasa hambar suhunya. Anda akan mencicipi ‘sensasi’ tersendiri kalau berkunjung disini.

Kantor Desa Nilulat. Latar Gunung Meomaffo.

Kata orang, ‘Soe lebih dingin’ tapi cobalah bertandang ke Nilulat, dan rasakan hawa dinginya akan menusuk hingga sum-sum tulang belakangmu hingga gertakan gigi akan terasa. Hawa hambar akan terasa ketika waktu mengambarkan pukul 4 sore(16.00 WITA). Kaprikornus jangan heran, menjelang sore hingga malam hari, Anda akan melihat penduduk kampung yang sudah terbalut kain tebal ‘beti nok tais’ di tubuh plus jeket tebal nan kusut khas perkampungan dingin.

Nilulat kini, berbeda dengan yang dahulu. Dimana kampung ini sudah terpasang meteran listrik di setiap rumah. Hal ini menciptakan suasana malam yang hambar tidak menjadi sepi alasannya yaitu masyarkatnya sudah menikmati listrik. Entah itu berkumpul dengan sanak saudara, maupun tetangga yang sengaja ‘nobar’ di rumah warga yang sudah memasang parabola. Berlaku bagi mereka yang belum mempunyai ‘teve’ di rumahnya, sehingga mereka mencari ‘hiburan’ di rumah tetangga yang mempunyai ‘teve’ sekedar menghilangkan penat bekerja di kebun sepanjang hari. Sinetron menjadi tontonan favorit mereka, sedangakan siaran gosip mereka nomor duakan..hehhe

Sebut saja ‘Anak Langit’ yang ditanyangkan salah satu stasiun televisi swasta. Coba anda menyebut kata ‘Boy’ dengan sendirinya reflek mereka akan menuju ke sinetron tersebut..hehhe.  Kaprikornus tak heran lagi, malam-malam mereka akan berbondong-bondong , entah renta maupun yang masih balita, mencari telivisi untuk menghibur diri. Satu episode sinetron tak akan mereka lewati. Jangan coba-coba menanyakan serial sinetron tadi malam, mereka akan menceritakanya dari awal hingga final tanpa melewati satu jelan dongeng di sinetron tersebut.

Sebelaha selatan, barisan pegunungan Meomaffo kolam pagar betis membentengi sisi kampung,  salah satu daerah hutan yang dilindungi pemerintah. Ekosistem hutan  dimana banyak dijumpai kera, burung nuri, Likusaen, pohon pinus, cendana, dll khas hutan tropis.

Namun sayang, akhir pembalakan liar dan sistem tebas pohon untuk bercocok tanam oleh beberapa desa yang berdekatan eksklusif dengan pegunungan tersebut, membuatnya sekarang meradang. Tak seindah dulu.

Dibawah kaki gunung Meomaffo, mengalir Sungai Noe Noni, meliuk-liuk indah di kaki pegunungan. Debitnya yang cukup untuk menyumbangkan banjir hingga ke daerah Benenain. Bermuara dari sumber mata air Gunung Mutis, menciptakan Sungai Noe Noni tetap stabil aliranya, walupun animo panas berkepanjangan.  Sumber mata air untuk binatang ternak (sapi) yang dilepas liarkan oleh pemiliknya.

Arah mata memandang ke bab utara kampung, tampak punggung bukit berbaris indah membentuk pagar alam, berbaris sepanjang garis perbatasan dari puncak Nu’Ael di Haumeni Ana hingga di punggung  Desa Tubu - Bipilu. Barisan punggung bukit yang indah, dipenuhi hutan pinus ini, diselingi perkebunan masyarakat desa, sekaligus menjadi batas negara antara Republik Indonesia dengan si tetangga Timor Leste.

Kembali ke arah barat, khas pegunugan tinggi memanjakan mata. Tepat di sebelah gunung Faku dan Folain, Desa Tubu merapat persis di kaki gunung Faku. Salah satu perkampungan kecil yang populer akan suasanya yang terkesan hening mendayung beriringan dengan alam desanya indah. Tua Lite(Tnopo), Tua Tolo(Palbeno), Tua Nino(Mnaka), Tua Fallo senantiasa menjaga watak dan budaya desa ini . Pandangan pun melayang jauh ke atas, tepatnya berada di lereng pegunungan Mutis-Babnain dan punggung Bijaesunan, desa Manusasi. Terlihat rumah-rumah warga bersusun rapi sepanjang lereng, hingga ke bukit Saenam, yang populer akan sumber mata airnya yang berlimpah. Dari Manusasi (Maonsas), Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Eban, sentra Kecamatan Miomaffo Barat.

Saat matahari terbit di bumi Lorosae, keindahan sang surya pun akan nampak jelas, kalau di pandang dari desa Nilulat. Mata memandang jauh ke timur, Anda akan dimanjakan dengan topografi Tanah Timor yang indah mempesona dimulai dari dataran Noemuti, Pegunungan Laka’an, Kota Kefamenanu, Nunpene  sentra kecamatan Meomaffo Timur, Desa Jak, Desa Buk, hingga ke Desa Inbate desa terakhir di Kecamatan Bikomi Nilulat. Bergeser sedikit ke tengah, mata Anda pun akan disuguhkan dengan bentangan alam kecamatan Musi, dimulai dari Kampun Raja Noetoko, Oetulu, Oelolo, hinggan ke puncak Nu’nua di Oelneke sana hingga ke Kota Kefa.

Bagian timur desa Nilulat berbatasan dengan desa Haumeni Ana. Saat mata Anda memandang ke desa ini, rumah-rumah berbaris rapi sepanjang punggung bukit hingga ke Nunpo. Rumah warga sempurna berada di pinggir jalan yang eksklusif berbatasan dengan negara Timor Leste.

Pasar Haumeni Ana, letaknya berada di bibir perbatasan, akrab dengan Pos TNI. Geliat ekonomi masyarakat perbatasan bisa Anda lihat disini. Para pedagang ‘paman dan bibi’ yang menjajakan banyak sekali macam jenis kebutuhan rumah tangga. Para ‘mama-mama Timor’ yang ikut menjajakan daganganya di sepanjang bibir pagar luar pasar, entah itu sayur-sayuran, umbi-umbian, dan kebutuhan pokok rumah tangga lainnya. Mereka tiba jauh-jauh dari Inbate, Nainaban, Sunkaen, Oelami, Oelneke, Oeolo, Oetulu, Batnes, Tubu, hingga Manusasi.

Ada juga ‘Om deng Tanta’ dari daerah TTS yang menjual sirih pinang plus tembako di pasar ini. Selain penduduk lokal, di pasar Haumeni Ana ini, Anda akan berjumpa dengan saudara kita dari Timor Leste yang masuk melintasi batas negara hanya untuk sekedar berbelanja. Tentunya sudah ada ijin dari ‘Sipol’ (Sebutan untuk Polisi di Timor Leste) serta Danki Pos Tentara Nasional Indonesia Haumeni Ana.

Baca juga :


Roda perputaran uang rupiah dan dollar amerika (US Dollar digunakan oleh masyarakat Timor Leste) nampak terang disini. Pasar Haumeni Ana, menjadi nadi kehidupan masyarakat perbatasan. Anda akan melihat banyak sekali ‘ojek’, kendaraan roda dua yang mengangkut penumpang pulang pergi, memarkir kendaraanya di sepanjang bibir jalan. Sembari berteriak memekikan suaranya, 'Om, Tanta... ojek ko?' berharap ada penumpang yang mau ngojek, sesua asa dan keinginan dari dalam diri si tukang 'ojek', bagaimana mendapat uang saku untuk kebutuhan hidup dan keluarganya sehari-hari atau sekedar uang pengganti bensin dikala pulang pergi mengantar penumpang. Itulah nasib dan usaha hidup yang sudah digariskan Tuhan.

Tak lupa ‘bemo’, si mungil mikrolet kecil dari beberapa desa tetangga ikut meraimakan suasana pasar. Yang uniknya, di dalam ‘bemo’ yang seharusnya hanya bisa memuat 8 orang saja, bisa menampung lebih hingga 12 orang. Sedangkan 'si konjak' dan 2 orang lainya bergelantungan di pintu masuk mikrolet. Suasana mampat, dan kurangnya sirkulasi udara di dalam 'bemo' ini menjadi momen yang paling amat menjengkelkan.

Bagaimana tidak, Anda akan dihadiahi pemandangan 'makan sirih pinang' di dalam 'bemo' yang penuh sesak dengan penumpang dan barang yang disusun tak karuan, plus kurangnya oksigen, membuatmu 'sesak napas' bagi yang belum terbiasa. Belum lagi kalau ada yang 'buang angin' maka hancurlah sudah hidup ini... umpatan dan makian akan keluar dari lisan tiap penumpang..hahahha. ‘Tasese di dalam bemo’ orang Timor bilang. Walaupun begitu, siapa yang tak mau naik? ‘bemo’ relatif murah dibanding ‘ojek’. Alternatif angkutan desa yang 'nyaman'.

Perjalanan ‘naik gunung’, di setiap tanjakan yang dianggap ‘terlalu curam’, para penumpang akan turun, menciptakan ‘bemo’ menjadi kosong semoga bisa mendaki tanjakan tersebut. Parahnya lagi, kalau rute ‘bemo’ ke arah Nilulat, Tubu dan Manusasi harus melintasi jalan desa yang penuh dengan tanjakan.

Setiap kali ada tanjakan, semua penumpang diharuskan turun dari 'bemo' sambil ‘lari pelan-pelan’ mendaki tanjakan tersebut, menunggu ‘bemo’ tiba di puncak tanjakan.

Jika sudah di puncak, barulah mereka naik kembali. Hal tersebut berlaku untuk setiap tanjakan. Bayangkan, kalau ke Nilulat, Tubu, Manusasi terdapat 5/6 tanjakan, berarti ‘katong rame-rame turun’. Teringat lagu bergenre hiphop asal Papua yang liriknya “ko tinggal turun naik, Ko tinggal turun naik. Oles beliau tanta”..hehe. Namun apa mau dikata, itulah jalur ke kampungku, lahir dan besar disini, semua hal yang dianggap 'unik' bagi orang baru, sudah menjadi 'biasa' bagi kami 'orang gunung'. Bae sonde bae, bepung kampung lebih bae toh! plesetan dari lagu Jagung Bose.

Ada sebuah cerita, ah dongeng saja kaka.... Tahun 2017 yang lalu, kebetulan ada proses 'hela keta' di kampung Nilulat. Dimana pihak wanita dari Nilulat, sedangkan pihak laki-laki berasal dari Kiupukan, Insana. Rombongan laki-laki bersama keluarga, bergerak dari daerah Insana yang notabene merupakan wilayah dataran memakai sebuah kendaraan beroda empat pick up, menuju desa Nilulat.

Perjalan panjang pun dimulai, ketika mereka mulai mendekati kampung, mereka harus berhadapan dengan tanjakan-tanjakan tersebut, sebelum memasuki kampung Nilulat. Jadi, butuh sopir yang 'punya nyali' dengan jalan di pegunungan.

Tanjakan pertama, tanjakan Balu-Batnes (depan rumah ibu Lena Ola) yang berhadapan eksklusif dengan cabang ke desa Sunkaen, ibukota kecamatan Bikomi Nilulat. Jalanya yang sudah rusak parah, ditambah dengan kontur menanjak, menciptakan para rombongan harus turun.
Ah, gres tanjakan pertama, 'dada masi kuat' kata mereka.

Tanjakan berikutnya,  depan pasar Haumeni Ana dan Pos TNI, jalanya berbatu dan belum pernah di aspal, dari zaman baheula. Mungkin jikalau Presiden Jokowi berhasil menjabat untuk yang kedua kalinya, barulah dibangun. Mereka pun turun lagi.
'Dada masih kuat', alasannya yaitu terjadi apa-apa, atau sesuatu yang tak diinginkan, eksklusif berdekatan dengan Pos TNI, niscaya pemberian cepat pun datang. Perjalanan pun di lanjutkan. Sembari menguatkan diri.

Masuk tanjakan ketiga, tanjakan Nono Leolkase. Lumayan panjang rutenya. Hampir 10 kilo dari bibir kali. Mereka tidak turun. Sudah tobat, kata mereka (karena turun terus). Hanya keyakinan dan pengharapan, sembari bibir mengucapkan doa Salam Maria dan Bapak Kami sepanjang tanjakan Nono Leolkase hingga tiba di puncaknya, sempurna di Panaf Tetmanu.

Setibanya di puncak Panaf Tetmanu, mereka semua beramai-ramai turun dari mobil. Ada yang bersungut-sungut, hingga menghela napas panjang. Puji Tuhan, tidak terjadi apa-apa. "Ini pi cari wanita ko cari mati ini?" kata ibu-ibu yang ikut dalam rombongan.
"Dada sonde kuat, jangan coba-coba tanta..heheh"

Bersambung........... (Nantikan posting saya selanjutnya)

#KuliProyek
Marko Kono,
Borong, Manggarai Timur

Salah satu 'Lopo' yang terletak sempurna di samping atas 'Sonaf Nilulat'. Insert : Nunanaek dan Nuaf Faku Folain sebagai latar.



Pasar Haumeni Ana. Geliat ekonomi perbatsan.

Lokasi foto sempurna berdekatan dengan pekuburan umum Desa Tubu, tampak latar jauh di atas pegunungan Desa Manusasi dan Bukit Saenam di sebelah kiri.

Gunung Meomaffo, sempurna di belakang gunung,kota Eban, ibukota kec. Miomaffo Barat.

Pos TNI, SATGAS PAMTAS RI-RDTL (Nilulat) terletak di RT 01, Hautunis.


Sumber https://www.bloggerntt.com/